Situs Download Lagu Toraja Terbaru Terbaik dan Terpopuler Mp3

Tongkonan Tertua di Toraja

Tongkonan Tertua di Toraja
Tongkonan Tertua di Toraja
Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat Toraja. Terdiri dari tumpukan kayu yang dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, putih dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja "tongkon" yang artinya duduk.

Terletak di bagian utara Sulawesi Selatan, tepatnya di daerah Tana Toraja, dapat ditemui berbagai kekayaan tradisi dan budaya yang dimiliki komunitas adat setempat. Tana Toraja memiliki berbagai tradisi dan kebudayaan seperti rumah adat tongkonan, kubur batu, juga upacara-upacara adat. Salah satunya upacara adat kematian atau yang biasa disebut dengan rambu solo.

Dari pusat Kota Makassar menuju Tana Toraja, wisatawan harus menempuh jarak sekitar 350 km atau perjalanan darat selama 6-8 jam. Jika tidak mau berlama-lama di perjalanan, wisatawan bisa menggunakan jasa pesawat domestik. Bandara Sultan Hasanuddin sudah membuka penerbangan domestik menuju Tana Toraja. Dengan menggunakan jalur udara, perjalanan hanya menempuh waktu tidak lebih dari 1 jam.
Tongkonan Tertua di Toraja
Tongkonan Tertua di Toraja
Udara di Sulawesi Selatan terasa lebih dingin dibandingkan dengan Kota Makassar. Hal ini dikarenakan secara geografis Sulawesi Selatan berada di ketinggian dan dikelilingi pegunungan. Karenanya, tidak heran jika banyak wisatawan yang datang ke sini tidak hanya untuk melihat kekayaan tradisi masyarakat Tana Toraja. Mereka juga ingin merasakan kesejukan kawasan ini.

Di kawasan Rantepao, Sulawesi Selatan, terdapat sebuah desa adat yang masih mempertahankan tradisi nenek moyang suku Toraja. Desa tersebut bernama Desa Pallawa. Konon, di desa ini terdapat tradisi kanibal. Jika terjadi perang antar desa, daging manusia yang menjadi korban perang akan dimakan dan darahnya akan diminum. Seiring berjalannya waktu, para tetua adat suku Toraja mengganti tradisi tersebut dengan memakan ayam – yang kini dikenal dengan nama pallawa manuk.
Tongkonan Tertua di Toraja
Tongkonan Pallawa
Di Desa Pallawa, terdapat 11 tongkongan. Setiap tongkongan memiliki lumbung bagi pada bagian atapnya. Atap rumah tersebut terbuat dari susunan bambu. Karena sudah berusia hingga ratusan tahun, bagian atap kini ditumbuhi tanaman-tanaman liar. Sementara, bagian utama tongkonan terbuat dari kayu besi, yaitu kayu ringan tapi kuat. Pancang-pancangnya diberikan hiasan pahat dan didominasi oleh warna orange dan hitam. Pada rumah-rumah tertentu, terdapat berderet tanduk kerbau yang terpajang di bagian depannya. Tanduk kerbau tersebut merupakan simbol bahwa pemilik rumah adalah tuan yang sudah melakukan upacara rambu solo.

Selain tanduk kerbau, simbol pemilik tongkongan pernah melakukan rambu solo juga ditandai dengan dipajangnya tulang-tulang babi. Berbeda dengan kerbau yang dianggap sebagai binatang suci dan menjadi persembahan dalam rambu solo, babi yang dikorbankan pada upacara rambu solok hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan masyarakat yang mengikuti upacara. 

Pada bagian yang lain, juga terdapat penjual pernak-pernik khas Tana Toraja, seperti kain tenun, ukiran kayu, senjata, hingga kopi Toraja yang kenikmatannya tidak ada duanya. Berwisata ke Desa Pallawa tentu menghadirkan sensasi tersendiri. Selain bisa menemukan hal-hal baru, berkunjung ke Tana Toraja juga bisa meningkatkan kecintaan kita akan kekayaan tradisi dan kebudayaan Indonesia yang tidak dimiliki negara lain. 

Tongkonan berusia 700 tahun lebih
Tongkonan Tertua di Toraja
Tongkonan Tertua di Toraja
Tongkonan atap batu ini terletak di Desa Banga', Kecamatan Rembon, Kabupaten Tana Toraja. Dari Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja, kita harus menempuh perjalanan 10 kilometer ke arah barat. Tapi, tidak perlu khawatir. Jalan menuju Desa Banga' cukup mulus.

Sekilas, tongkonan yang disakralkan warga itu tampak biasa-biasa saja. Ukurannya 3 x 10 meter, tidak terlalu luas untuk sebuah tongkonan. Namun, ada beberapa hal pada bangunan yang diyakini berusia 700 tahun itu yang tidak akan ditemukan pada tongkonan lain. Karena keunikannya, Pemkab Tana Toraja melalui pemerintah pusat mengusulkan tongkonan tersebut masuk daftar warisan budaya dunia UNESCO.

Seperti sebutannya, salah satu keunikannya terletak pada atap yang terbuat dari batu pahatan berbentuk segi empat. Tebal tiap batu atap itu 5 sentimeter dengan lebar tiga jengkal orang dewasa. Di ujung batu atap tersebut ada dua lubang kecil di sisi kiri dan kanan. Fungsinya, untuk mengikatkan tali rotan yang dilengketkan ke balok kerangka atap. Puncak atap, tempat pertemuan atap sisi kiri dan kanan, ditutup pecahan bambu agar air hujan tidak merembes ke dalam tongkonan. Jumlah batu yang digunakan sebagai atap tongkonan itu lebih dari seribu. Berat tiap batu atap itu rata-rata 10 kilogram. Berarti, beban atap tongkonan tersebut sekitar 10 ton. Atap dan badan tongkonan itu ditopang 55 tiang yang seluruhnya terbuat dari kayu. Lantai tongkonan terbuat dari papan dan dindingnya berupa kayu berukir. Pada tiang depan tongkonan tampak berjajar ratusan tanduk kerbau yang dipotong tiap penghuni tongkonan itu menyelenggarakan pesta adat.
Tongkonan Tertua di Toraja
Tongkonan Tertua di Toraja
Pintu masuknya hanya satu, terletak di bagian tengah sisi kanan bangunan. Untuk masuk ke tongkonan itu, kita harus melewati tangga yang juga terbuat dari kayu. Tertarik melihat bagian dalam tongkonan? Bisa. Cukup mengetuk pintu tiga kali, siapa saja boleh masuk. Ah, biasa. Di mana-mana, yang namanya tamu memang mesti mengetuk pintu dulu, kan? Tunggu dulu. Sebab, justru itulah salah satu keunikan tongkonan tua tersebut. Kita tidak boleh mengetuk pintu dengan tangan. Harus pakai kepala. "Kalau tidak mengikuti aturan itu, pengunjung biasanya mengalami kecelakaan saat pulang. Bahkan, ada pengunjung yang jatuh sakit karena masuk rumah tanpa permisi," tutur Dorkas, pemilik tongkonan kuno tersebut. Saat ini tongkonan itu dihuni Ne' Toyang, janda berusia 110 tahun. Ne' Toyang menghuni tongkonan itu bersama putri ketiganya, Dorkas. "Bapak saya bernama Sara', sudah meninggal. Sekarang tinggal Ibu (Ne' Toyang) dan cucu-cucu. Jumlahnya 140 orang," tutur Dorkas. Menurut dia, Nenek Toyang yang kini menghuni tongkonan itu adalah turunan kesepuluh dari penghuni pertama. Menurut cerita turun-temurun, yang pertama membuat dan menghuni tongkonan itu adalah nenek Buntu Batu. "Ibu saya yang sekarang menghuni tongkonan ini sudah turunan kesepuluh. Usia ibu saya 110 tahun. Turunan kedua hingga kesembilan kami lupa namanya. Ibu saya hanya bilang bahwa tongkonan ini berusia 700 tahun lebih," papar Dorkas.Saat akan masuk ke tongkonan itu, penulis juga diharuskan mengetuk pintu dengan kepala. "Tidak usah keras-keras, nanti sakit. Yang penting ada suaranya," kata Dorkas. Di dalam tongkonan itu ada kamar persis di sebelah kanan pintu. Di kamar itu Dorkas meminta izin, entah kepada siapa, agar direstui meninjau situasi dalam tongkonan. Rupanya, keluarga pemilik tongkonan tersebut yakin bahwa tongkonan itu masih dihuni leluhur meski tidak menampakkan diri. "Kalau ada tamu yang langsung naik tanpa permisi, biasa sakit saat pulang," katanya. Tongkonan itu punya empat kamar dan satu ruang tamu. Namun, di kamar-kamar tersebut tidak ada kasur atau ranjang. Bagaimana dengan atapnya? Dorkas yang kelahiran 1948 itu menyatakan, sejak dibangun sekitar 700 tahun silam, tongkonan tersebut baru dua kali ganti atap. Pergantian pertama hanya di beberapa titik. Saat itu ada tali rotan pengikat atap yang terputus. "Pergantian kedua dilakukan saat Tana Toraja dilanda gempa bumi. Tapi, saya lupa tahun berapa kejadiannya. Menurut kakek, sebagian besar atap jatuh karena gempa tersebut," katanya.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Tongkonan Tertua di Toraja

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment